MAKALAH
FIQIH MUNAKAHAT
WALI NIKAH dan
PERMASALAHANNYA
OLEH :
Hasnul Huda
SiHombing
Dosen Pembimbing :
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
TAHUN AJARAN 2013-2014
PADANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci, dimana dua insan yang
berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui Agama, kerabat, dan
masyarakat.
Dengan
pernikahan ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah,
dan dosa menjadi amal sholeh. Tetapi dengan dilaksanakan pernikahan tersebut
harus ada wali dari kedua belah pihak yang menikahkannya, terlebih-lebihnya
wali dari pihak mempelai perempuan. Karena tidak sah pernikahan seseorang tanpa
direstui/dinikahkan oleh wali, dan salah satu syarat pernikahan harus adanya
wali, tanpa ada wali maka pernikahannya itu batal dan tidak diridhoi oleh Allah
Subhana wata’alaa.
B.
Rumusan Masalah
Adapun pembahasan-pembahasan yang pemakalah bahas pada hari ini yaitu :
1.
Pengertian Wali
2.
Syarat-syarat Wali
3.
Macam-macam Wali
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Wali
Wali adalah orang yang
berhak atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya
untuk kepentingan dan atas nama yang diwakili. Sedangkan wali dalam pernikahan
adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya apabila ia
(wali) sanggup bertindak sebagai wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak
dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.
Menurut Imam Syafi’i
wali merupakan salah satu dari empat hal yang menetapkan adanya pernikahan
yaitu wali, kerelaan yang dinikahkan, kerelaan yang menikahi, dua saksi yang
adil, serta yang kelima adalah mahar/maskawin. Sebagimana Syafi’iyyah,
Malikiyyah dan Hanabilah sepakat dalam mensyaratkan adanya wali dalam keabsahan
pernikahan, dan Hanafiyah berpendapat bahwa pensyaratan wali ini adalah untuk shoghiroh
dan kabiroh majnunah sedangkan bagi balighah aqilah baik
gadis ataupun janda berhak untuk menikahkan diri mereka selama sepadan /
kufu, karena jika tidak sepadan maka wali berhak untuk mem-faskh nikahnya.
Dalam pelaksanaannya,
seorang wali bisa menikahkan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain, atau
barangkali pasrah kepada orang lain untuk memilihkan suami sekaligus
menikahkannya sebagaimana kutipan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yang bercerita
tentang Ummu Amr yang kemudian dinikahkan dengan Utsman ra. oleh Umar ra.Keberadaan seorang wali dalam akad nikah
suatu yang mesti ada dan tidak sah akad perkawinan seseorang yang tidak dilakukan oleh wali. Ini adalah pendapat
jumhur ulama. Hal ini berlaku untuk semua perempuan yang dewasa atau masih
kecil, masih perawan, atau sudah janda.
Sesungguhnya
Nabi SAW telah bersabda : “Wanita manapun yang menikah tanpa seizing walinya,
maka pernikahan itu batal (tidak sah”)
Memang tidak ada suatu ayat Al-qur’an yang secara
jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Yang ada hanya ayat-ayat
yang dapat dipahami menghendaki adanya seperti dalam surat Al-baqarah ayat 221.
وَلَا
تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ
مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا
ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَـٰئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ
آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ﴿٢٢١﴾
(221) Dan janganlah kamu menikahi perempuan
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguh hamba sahaya perempuan yan
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beiman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebihbaik
dari pada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
keneraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. (
ALLAH ) menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran. ( Al-baqarah Ayat 221 )
B. Syarat-syarat Wali
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad
pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau
saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memilih beberapa sifat berikut :
1. Islam.
Orang yang tidak beragama Islam tidak sah
menjadi wali atau saksi.
Firman Allah Subhana wata’ala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿٥١﴾
“ hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi teman setiamu, mereka
satu sama lain saling melindungi. Siapa diantara kamu menjadikan mereka teman
setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”
( Al-Maidah : 51 )
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Adil .
C. Macam-Macam Wali
1. Wali Nasab
Wali nasab yaitu wali yang
mempunyai pertalian daerah/keturunan dengan perempuan yang akan dinikahkan. Wali
nasab ditinjau dari dekat dan jauhnya dengan mempelai wanita dapat dibagi
menjadi dua, yaitu wali Akrab (lebih dekat hubungannya dengan mempelai wanita)
dan Wali Ab’ad (lebih jauh hubungannya dengan mempelai wanita).
Dibawah ini susunan wali nasab menurut urutan haknya:
a. Ayah
b. Kakek dari pihak bapak
c. Saudara laki-laki kandung
d. Saudara laki-laki sebapak
e. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
f. Paman ( saudara bapak ) sekandung
g. Anak laki-laki dari paman kandung
h. Anak lai-laki dari paman kandung
i.
Anak laki-laki dari paman
sebapak
j.
Hakim
2. Wali Mujbir
Wali yang bisa/boleh memaksa anak gadisnya dibawah
perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin yang bersangkutan. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas
dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir
ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat
mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk
kebaikan putrinya.
Kebolehan wali mijbir ini dengan syarat sebagai
berikut :
1. Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki
yang sekufu.
2. Jika mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan
putinya.
3. Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang
mengecewakan
4. Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya
dengan laki-laki tersebut.
5. Jika putinya tidak mengikrarkan dia tidak
perawan lagi.
3.
Wali
Adhal
Dalam
hal adhalnya wali, maka perwalian pindah ke tangan hakim yang dalam prakteknya
di Indonesia melalui prosedur penetapan adhalnya wali dari Pengadilan
Agama untuk menentukan dibenarkan tidaknya alasan penolakan dari wali karena
jika alasannya benar dan dibenarkan oleh pengadilan maka perwaliannya tidak
berpindah kepada orang lain karena ia dianggap tidak adhal/ menghalangi.
Dalam masalah
ini belum kami temukan tentang bagaimana hukum dari wali yang adhal mengenai
boleh atau tidaknya,
Tetapi kami akan menyampaikan suatu dalil,
mudah-mudahan bias membuka wawasan kita untuk menentukan hokum dari wali adhal
tersebut.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui”.
Tapi dengan melihat dhohir dari ayat diatas kami simpulkan bahwa
hukum asal dari adhal-nya wali adalah dilarang.
4. Wali Hakim
Wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri)
wali hakim itu harus hatus mempunyai pengetahuan sama dengan qadhi.
Adapun perpindahan wali nasab kepada wali hakim dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama
sekali.
2.
Wali aqrab ada, tetapi akan menjadi calon
mempelai pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah
tidak ada.
3.
Wali aqrab ada, tetapi sedang ihram.
4.
Wali aqrab ada tetapi tidak diketahui tempat
tinggalnya (mafqud)
5.
Wali aqrab ada tetapi menderita sakit pitam.
6.
Wali aqrab ada tetapi menjalani hukuman yang
tidak dapat dijumpai.
7.
Wali aqrab ada tetapi bepergian jauh sejauh
perjalanan yang membolehkan sholat qashar.
8.
Wali aqrab ada tapi menolak untuk mengawinkannya
(adlal).
9.
Calon mempelai wanita menderita sakit gila,
sedang wali mujbirnya 9ayah atau kakeknya) sudah tidak ada lagi.
Seluruh mazhab sepakat
bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan laki-laki dan perempuan gila manakala
mereka tidak mempunyai wali yang terdekat, berdasar hadist di bawah ini :
Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak punya wali.
Akan tetapi bagi
Imamiyah dan Syafi’i hakim tidak berhal mengawinkan anak gadist yang masih
kecil, sedangkan Hanafi mengatakan bahwa hakim punya hak atas itu, tetapi aqad
tersebut tidak mengikat, dan sudah si anak sudah baligh dia berhak menolaknya.
Pendapat ini sesungguhnya kembali pada pendapat Syafi’i dan Imamiyah sebab
dalam keadaan seperti itu sang hakim telah melakukan aqad fudhuli (tanpa
izin).
Sementara itu, Maliki
mengatakan bahwa apabila tidak ada wali yang dekat, maka hakim berhak
mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan
perempuan dengan orang yang se-kufu serta mengawinkan wanita dewasa
dan waras dengan izin mereka.
Seluruh Mazhab sepakat bahwa syarat wali adalah baligh, islam dan
laki-laki. Adapun syarat bagi hakim dan bukan wali yang dekat. Sebagai
pengecualian, Hanbali mensyaratkan adalah bagi setiap wali baik
wali hakim maupun wali dekat.